Jumat, 15 Mei 2009

CATATAN TUK MUHAMMADIYAH

MUHAMMADIYAH MINANGKABAU
OLEH : RB. KHATIB PAHGLAWAN KAYO

A. Sekilas Tentang Minangkabau.

Minangkabau seperti dikatakan Rajo Penghulu (1988:23) secara garis besar terdiri dari dua bagian, yaitu darek dan rantau. Darek adalah inti Minangkabau yang terdiri dari tiga daerah, yaitu Luhak Tanah Datar, Luhak Agam dan Luhak Limapuluh Kota. Secara administratif dalam Provinsi Sumatera Barat ketiga daerah itu menjadi: Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Agam dan Kabupaten Limapuluh Kota. Orang Minangkabau sendiri menyebutnya dengan istilah Luhak Nan Tigo (Tigo Luhak). Dalam Tambo Minangkabau daerah Luhak Nan Tigo inilah yang disebut dengan istilah ”Minangkabau”.

Menurut Rajo Penghulu (1988:17) pada dasarnya adat Minangkabau terdiri dari dua bahagian besar, yaitu adat Laras Koto-Piliang dan Bodi Caniago. Pengertian Laras sama dengan hukum. Laras Koto Piliang dibuat oleh Datuk Katumanggungan dan Laras Bodi Caniago dibuat oleh Datuk Parpatih Nan Sabatang. Dibuat berarti kedua adat itu merupakan hasil pemikiran yang mendalam dari kedua tokoh adat itu.

Anas (1968:100) secara sederhana merumuskan pengertian adat, yaitu:
”Tingkah laku yang oleh dan dalam suatu masyarakat sudah, sedang dan akan diadatkan. Dan adat itu ada yang tebal, ada yang tipis dan senantiasa menebal dan menipis”.

Pertumbuhan dan perkembangan adat Minangkabau terbagi kepada dua periode, yaitu: Periode sebelum Islam datang dan periode setelah Islam datang.

Sebelum Islam dianut oleh masyarakat Minangkabau, tata nilai kehidupan masyakarat Minangkabau umumnya dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu dan Budha. Sedanhgkan ketentuan-ketentuan adatnya hanya disandarkan pada kaidah-kaidah alam. Inilah yang dimaksud dengan ungkapan adat ”Panakiak pisau sirauik, ambiak galah batang lintabung, silodang ambiak kanyiru, Nan satitiak jadikan lauik, nan sakapa jadikan gunung, alam takambang jadikan guru”. Alam terkembang yang menjadi lingkungan hidup adalah flora, fauna dan benda-benda lainnya. Semuanya merupakan sunnatullah yang dijadikan pedoman atau guru dan i’tibar dalam menghadapi proses hidup dan kehidupan sehari-hari.

Sebelum datangnya pengaruh agama Hindu dan Budha ke Minangkabau, masyarakat Minangkabau hidup dilingkungan negeri masing-masing, yang diperintah dengan musyawarah untuk mencari musfakat. Kata-kata adat mengatakan:

”Nagari bakaampek suku (negeri berkeempat suku)
Dalam suku babuah paruik (dalam suku mempunyai paruik)
Kampuang ado tuonyo (kampung ada ketuanya)
Rumah diagiah batungganai (rumah mempunyai tungganai)”.

Arti dari kata-kata adat itu adalah bahwa pada setiap nagari harus ada sekurang-kurangnya empat buah suku dan masing-masing kepala suku secara bersama-sama memerintah nagari tersebut berdasarkan musyawarah dan mufakat. Dalam sebuah suku terdapat pula beberapa paruik, yaitu keturunan langsung yang dihitung dari pihak perempuan, seperti; nenek – ibu – anak perempuan – cucu perempuan dan seterusnya.

Bagaimana cara keempat suku memerintah nagari, pepatah adat Minangkabau mengatakan:

Kamanakan barajo kamamak, (Kenenakan beraja kepada mamak)
Mamak barajo ka panghulu (Mamak beraja kepada penghulu)
Panghulu barajo ka mufakat (Penghulu beraja kepada mufakat)
Mufakat barajo ka nan bana (Mufakat beraja kepada yang benar)
Bana badiri sandirinyo (Benar berdiri sendirinya)
Nan dimakan aluah jo patuik (Yang menurut alur dan patut).

Secara teoritis (Rajo Penghulu, 1988:27) pengertian alur dan patut itu sama untuk seluruh Minangkabau, misalnya untuk ungkapan ”bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakat, picak lah buliah dilayangkan, bulek lah buliah digolongkan”. Arti ungkapan ini sama untuk seluruh Minangkabau, tetapi dalam pelaksanaannya apa yang bulat itu tidaklah sama untuk masing-masing nagari, tergantung pada masing-masing nagari menterjemahkannya. Hanya saja kalau salah satu pengertian sudah dimufakati, maka akan dijalankan dan tidak seorangpun lagi dari anggota keluarga dan anak nagari yang dapat melanggarnya. Hukum pelanggaran adalah dibuang sepanjang adat.

Setelah Islam masuk ke Minangkabau sekitar abad ke-7 (Buchari, 1971:43), secara beransur-ansur tata nilai kehidupan orang Minangkabau berubah dan dipengaruhi oleh ajaran Islam. Semenjak itu adat dan rumusannya tidak lagi didasarkan atas musyawarah mufakat, akan tetapi berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Dalam kajian agama Islam dikatakan ”Man ’arafa nafsahu, faqad ’arafa Rabbahu (siapa yang tahu akan dirinya, maka dia akan tahu siapa Tuhannya)”. Orang yang tahu alam kecil saja seperti diri manusia sendiri, akan tahu siapa Tuhan, apalagi orang Minangkabau sudah mengenal alam besar dan luas, tentu akan lebih tahu siapa penciptanya.

Namun yang harus dipahami adalah bahwa ketika Islam masuk ke Minagkabau bukan tidak terjadi konflik antara adat dan Islam. Akan tetapi konflik itu akhirnya menyatu dan terintegrasi secara terpadu antar adat dan Islam.

Menurut Afifi (2003:5) bentuk integrasi antara adat dan Islam tersebut mengalami beberapa tahapan:

Tahap pertama : Adat basandi aluah jo patuik dan syarak basandi dalil.
Dalam tahap ini adat dan syarak jalan sendiri-sendiri dalam batas-batas yang tidak saling mempengaruhi. Masyarakat Minangkabau mengamalkan agamanya dalam bidang aqidah dan ibadah dengan baik, sedangkan dalam bidang sosial (mu’amalah) mereka beraluakan adat.

Tahap kedua : Adat basandi syarak, syarak basandi adat.
Dalam tahap ini salah satunya menuntut hak kepada yang lain, sehingga sama-sama dibutuhkan, tanpa ada yang tergeser. Hubungan kekerabatan di Minangkabau mulai diperluas melalui sistem bako dan anak pisang.


Tahapa ketiga : Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, Syarak Mangato Adat mamakai.
Pada tahap ini antara adat dan syarak telah berintegrasi secara penuh sehingga adat Minangkabau identik dengan Islam. Ini berawal dari kesepakatan yang dibuat di Bukit Martapalam antara tokoh adat dan tokoh agama pada abad ke 19.


Dari tahapan-tahapan tersebut dapat dijelaskan tiga bentuk derajat falsafat adat Minangkbaua:
1. Bentuk yang berdasarkan agama, yang merupakan derajat tertinggi karena didasarkan pada syari’at.
2. Bentuk yang berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam alam nyata bentuk sunnatullah.
3. Bentuk yang timbul dari buah pikiran manusia. Inilah yang kemudian seperti diungkapkan Rajo Penghulu (1988:20) melahirkan empat jenis adat, yaitu:

a. ”Adat nan Sabana Adat”, yaitu segala sesuatu yang sudah seharusnya mesti begitu dan kebenarannya bersifat mutlak. Misalnya adat air membasahi, adat api membakar, adat sakit diobati dan sebagainya. Adat merupakan sifat-sifat alam atau undang-undang alam yang mutlak kebenarannya.
b. ”Adat nan teradat” adalah adat yang berdasarkan kenyataan yang terdapatnya perbedaan menurut keadaan dan situasi tempat. Dalam hal ini istilahnya adalah ”lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya” Dengan demikian adat yang terdapat dalam satu daerah mungkin saja tidak sama dengan adat teradat di daerah lain di Minangkabau, walaupun hanya berbatasan nagari saja.

c. ”Adat nan diadatkan” adalah adat atas dasar mufakat menurut alur dan patut. Sesudah dimufakati, akan menjadi peraturan hidup yang mengikat setiap anggota masyarakat.

d. ”Adat Isti’adat” adalah seluruh kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari, yang sudah berlaku secara tradisional dan diwariskan kepada generasi berikutnya secara turun temurun.

Dengan demikian, adat jenis pertama itulah yang disebut oleh pepatah adat ”adat nan indak lakang dek paneh dan indak lapuak dek hujan, dibasuah mahabiahkan aia, dikikih bahabihkan basi, dianjak indak layua, dibubuik indak mati”.

Selagi orang Minangkabau taat memeluk agama Islam, beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, maka nilai-nilai yang terkandung dalam adat nan sabana adat akan lestari sepanjang masa. Inilah bukti terjadinya integrasi antara adat Minangkabau disatu sisi dan agama Islam disisi lain, sebagai hasil kesepakatan di Bukit Marapalam, yang materinya dituangkan dalam kato pusako:

”Adat bapaneh, Syarak balinduang
Syarak mangato adat mamakai
Adat jo syarak sanda manyanda
Adat Basandi Srakat, Syarak Basandi Kitabullah”.

Selanjutnya Piagam Bukit Marapalam melahirkan pantun-petitih yang berbunyi:

Alah bakarih samparono
Bingkisan rajo Majopahik
Tuah basabab bakurano
Pandai batenggang di nan sampik.

Tajam alah, calakpun ado
Tingga dibao manyimpaikan
Adat alah, syarakpun ado
Tingga di awak mamakaikan.

Jazir Burhan (2000) mengatakan bahwa salah satu ketentuan adat dalam melaksanakan ABS-SBK (Adat Basandi Syara’ – Syara’ Basandi Kitabullah) tersebut adalah berpatokan kepada Kitabullah, apa yang dikatakan syara’, itulah yang musti dijalankan adat, menjadi landasan perbuatan, sesuai dengan pepatah “Syara’ mangato, adat mamakai”. Apa yang dikatakan dalam al-Qur’an, sunnah dan fiqh, itulah yang harus terealisasi dalam tingkah laku beradat.

Secara implisit dan eksplisit diktum ini mengatakan “agama” memberikan patokan ideal yang harus diwujudkan dalam realita oleh tata perilaku dan pengaturan sosial yang secara keseluruhan disebut “adat”. Agama yang dirumuskan oleh kitabullah menempati hirarki nilai yang tertinggi. Keabsahan adat harus ditentukan berdasarkan keyakinan akan kebenaran kitabullah.

Lambang dari perpaduan agama dan adat dalam masyarakat Minangkabau dibuktikan dengan bunyi pepatah “Babalai bamusajik, Basawah baladang laweh, Balabuah batapian, Bapasa bagalanggang”.

Sebagai persyaratan berdirinya suatu nagari di Minangkabau, di samping harus ada sawah ladang yang melambangkan bahwa Nagari harus berdiri sendiri dalam bidang sandang dan pangan, dan harus ada pasar dan gelanggang sebagai lambang kemakmuran, serta ada labuah dan tapian sebagai lambang kesenian dan keindahan untuk rekreasi. Di samping itu semua yang pertama dan nutama setiap nagari harus mempunyai ”Balai nan saruang dan Musajik nan sabuah”, sebagai lambang tata cara hidup yang berlaku dalam masyarakat Minangkabau, yaitu masyarakat yang kuat menjalankan adat dan taat menjalankan agama, sehingga adat menjadi benteng dan agama menjadi pertahanan (HAK.Dt.Gunung Hidjau dalam Muchtar Naim, 1968,121).


Dengan modus ABS-SBK lahirlah konsep “Tungku tigo sajarangan” sebagai penyempurnaan dari fungsi niniek mamak, dan para cerdik pandai, dimana peran niniek mamak disejalankan dengan fungsi para alim ulama dan cerdik pandai agar tidak menyimpang dari ajaran agama, dan segala sesuatu sesuai dengan tuntutan ilmu dan teknologi baru. Pemahaman tali nantigo sapilin juga memberikan tafsiran bahwa masyarakat Minangkabau diikat dengan tiga jenis hukum, yaitu: hukum adat, hukum Islam dan hukum negara.

Raudha Thaib (2003) mengatakan ada dua sebab menyatunya ajaran Islam dengan budaya Minangkabau dilihat dari kajian antropologi, sejarah dan sosiologi, yaitu:

1. Adat dan budaya Minanngkabau hanya berbicara sebatas yang nyata dan yang tampak, yang ada dan yang wujud. Hal-hal yang ghaib seperti masalah awal dan akhir kehidupan, konsepsi ketuhanan dan kepercayaan kepada Tuhan diakomodasi oleh ajaran Islam. Adat dan budaya Minangkabau menjadi sempurna karena penambahan tersebiut.
2. Sifat karateristik orang Minangkabau sangat pragmatis dan rasional. Sebagaimana tercermin dalam adatnya, sangat sesuai menerima ajaran Islam, karena Islam adalah sebuah agama yang rasional. Ketika Islam mulai berkembang dalam masyarakat Minangkabau, mereka mudah menerima dan sekaligus memilikinya.

Seperti dikatakan HAMKA (1984) integrasi adat syara’ sama halnya dengan perbenturannya merupakan suatu keniscayaan. Adanya integrasi menjadi indikasi adanya adaptasi pada yang datang kemudian, dan adanya perbenturan mengindikasikan perlunya pembelajaran.

Hanya saja karena perbedaaan pendekatan yang senantiasa masih terpola antara adat dan agama dalam mendekati kebenaran, perbenturan menjadi hal ytang lebih nyata dan dominan dari pada proses pembelajaran melihat integrasi sampai berkuasanya Aditdan proses asimilasi antara adat dan agama (Islam). Dengan demikian proses Re-aktualisasi adat dan agama akan dapat terlihat apabila integrasi antara adat dan agama yang dimunculkan, bukan perbenturan-perbenturan.


B. Masuknya Islam ke Minangkabau.

Seminar Masuknya Islam ke Minangkabau yang berlangsung 12 Juli 1969 di Padang sepakat mengatakan bahwa pada abad pertama Hijriyah (abad 7 atau 8 Masehi) Islam telah masuk di Minangkabau lewat bagian timur. Namun Prof. Mahmud Yunus (1971), menyatakan bahwa Islam masuk ke Minangkabau Timur pada tahun 521 Hijriyah (=1128 Masehi). Alasannya, masa sebelum itu tidak ada fakta yang mendukungnya, sedangkan bukti-bukti yang ada pada tahun 521 Hijriyah=1128 Masehi, yakni dengan ditemuinya kuburan Islam tertua di Minangkabau Timur.

Sama halnya dengan masuknya Islam ke Indonesia, pada umumnya dibawa oleh para pedagang yang berfungsi sebagai muballigh. Awalnya mereka berda’wah secara sukarela dan dikembangkan di daerah-daerah sekitar kota-kota dagang di pantai timur Sumatera. Dari Minanagkabau Timur ini, kemudian Islam berkembang ke luar Mainangkabau dengan tokoh-tokoh yang terkenal seperti:
1. Datuk Sahulan, yang mengislamkan orang Batak Toba di daerah Muara Sungai Asahan.
2. Datuk Patimang, mengislamkan orang Sulu di Kepulauan Filipina.
3. Datuk Ri Tiro dan Datuk Ri Bandang mengislamkan orang-orang Bugis dan Maksar.

Di Kerajaan Pagaruyung sampai berkuasanya Adytiawarman , agama yang dianut adalah agama Budha Sekte Bairawa dan pengaruhnya hanya di sekitar lingkungan istana. Tidak ada bukti-bukrti yang menyebutkan bahwa rakyat Minangkabau telah menganut agama tersebut. Malahan dalam catatan Portugis dikatakan, bahwa utusan raja Minangkabau yang datang ke ’Albuquerque dan ditahan pada tahun 1511 adalah seorang yang belum beragama. Tentang ini boleh jadi, sang raja waktu itu sudah beragama Islam bermakud mengirimkan utusan muhibah menemui pedagang-pedagang Portugis di Malaka dan sengaja memilih orang yang bukan Islam.

Pada mulanya, agama Islam di minangkabau tidak dijalankan secara nyata, karena di samping melaksanakan agama Islam, penganutnya juga masih menjalankan praktek-praktek adat yang pada dasarnya bertentangan dengan ajaran Islam. Kondisi ini memunculkan keinginan para ulama, terutama mereka yang baru pulang dari Mekah untuk mengadopsi faham Wahabi, yaitu suatu faham dimana penganut-penganutnya melakukan ajaran Islam secara murni. Di tanah Arab tujuan gerakan kaum wahabi adalah untuk membersihkan Islam dari anasir-anasir bid’ah. Kaum Wahabi menganut mazhab Hanbali dan bertujuan kembali kepada pelaksanaan Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW. Dalam usaha melaksanakan prinsisp tersebut kalau perlu dengan kekerasan, karena pada waktu itu beberapa ulama di Minangkabau seperti Tuanku Pemansiangan, Tuanku Lintau, Tuanku Nan Renceh dan lain-lain, sudah melihat ketidak beresan dalam melaksanakan praktek ajaran Islam di Minangkabau.



C. Lahirnya Faham Pembaharuan.

Sekitar abad ke 14, seorang ulama dari mazahb Hanbali di Damsyik bernama Taqiyuddin ibn Taymiyyah al-Harrani al-Hanbali (1263-1328), kemudian terkenal dengan nana Ibnu Taymiyyah meletakkan kerangka dasar faham pembaharuan dalam Islam. Gerakkann yang diaktualisasikan dengan melakukan tantangan hebat terhadap sufisme dan segala bentuk bid’ah yang banyak dilakukan umat Islam waktu itu.

Beliau juga menantang taklid buta dalam beragama dan juga menafikan ijmak secara hakiki sesudah zaman sahabat yang dipandang sebagai salah satu sumber hukum Islam. Menurut mazhab Hanbali ijmak hakiki hanya mungkin berlaku pada zaman sahabat nabi, yaitu pada masa mujtahid Islam tinggal di daerah yang belum begitu luas. Imam Ahmad ibn Hanbal sebagai penggagas mazhab Hanbali mengatakan bahwa siapa yang mengatakan ada ijmak hakiki dia itu pendusta. Sebab boleh jadi manusia berbeda pendapat yang ia tidak ketahui atau tidak sampai kepadanya. Keputusan ulama di suatu negeri belum tentu disetujui oleh para ulama di negeri lain.

Memuliakan kuburan para wali dan orang keramat yang banyaka dilakukan orang pada masa itu juga ditantangnya, termasuk juga meminta kepada Allah dengan perantaraan arwah para wali dan orang keramat yang sudah mati dipandangnya sebagai perbuatan syirik. Semb oyan Ibnu Taymiyyah yang sangat terkenal adalah ”Kembali kepada Al-Qur’andan Al-Hadits, buang segala kemusyrikan, bid’ah, khurafat, dan taklid dalam segala bentuk dan manifestasinya, serta kembangkan sikap berani berijtihad”.

Ibnu Taymiyyah mengemukakan bahwa hanya Al-Qur’an dan Al-Sunnah saja sebagai sumber hukum Islam yang mesti dituruti. Segala yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah dan Hadits dianggapnya bid’ah yang harus dibasmi. Ibnu Taymiyyah dalam menggerakkan prinsip kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah ini dibantu oleh muridnya Ibn Qayyim Al-Jauziyyah (1292-1350). Mereka berdua yakin benar bahwa hanya dengan berpegang teguh dan kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah dalam segala segi kehidupan umat Islam akan mendapat kejayaannya kembali.

Namun gerakkan ini tidak lama bertahan dan akhirnya terhenti, karena sangat banyak dapat tantangan dari umat Islam waktu itu yang sudah terpecah-pecah akibatpengaruh duniawi dan berbagai kepentingan internal lainnya. Di samping banyaknya pertentangan dan perpecahan dikalangan umat Islam. Semaki ramainya pengaruh eksternal telah menjadikan umat Islam kehilangan jati diri dan tidak adanya pegangan yang jelas dalam mengamalkan ajaran Islam, sehingga umat Islam hanya mengenal Islam dalam ajaran yang sempit dan kiulit-kulitnya saja, itupun bercampur aduk dengan [erbuatan syirik,bid’ah, khurafat dan tahayul seperti yang telah digambarkan di atas.

Sekitar abad ke 18 M, mata rantai yang terputus itu tersambung kembali dengan munculnya seorang Reformis (Pembaharu) di jazirah Arab yang mengikuti garis berpikir Ibn Taymiyyah, yaitu Muhamamd bin Abdul Wahhab (1703-1787). Pendapat dan faham Muhammad bin Abdul Wahhab yang keras antara lain sebagai berikut:

1. Yang boleh disembah hanya Allah, siapa saja yang menyambah selain Allah adalah musyrik dan boleh dibunuh.
2. Meminta-minta kepada Wali, Syekh dan kekuatan gaib dipandangnya se bagai suatu kemusyrikan.
3. Menghadiri shalat berjama’ah adalah wajib.
4. Merokok adalah haram. Barang siapa yang melanggar dikenai hukuman cambuk 40 kali.
5. Umat Islam harus hidup sederhana. Segala macam pakaian mewah dn berlebihan diharamkan seperti laki-laki memakai emas dan sutera.

Ajaran-ajaran Muhammad bin Abdul Wahab tersebut telah memberikan ilham dan dorongan yang kuat, sehingga menggoncangkan dan membangkitkan kembali kesadarna internal umat Islam yang sedang tertidur lelap dalam keterbelakangan. Ajaran tersebut kemudian diterima dan dilaksanakan oleh sahabatnya yang negarawan yakni; Ibnu Su’ud dan Abdul Aziz ibn Su’ud. Melalui kebersamaan inilah kemudian terbentuk sebuah kerajaan besar ”Sa’udi Arabia” yang berjaya sampai saat ini. Sistem ajaran dan faham Muhamamd bin Abdul Wahab ini sering juga disebut Muhammadiyah, yaitu suatu ajaran yang hanya mengikuti tuntunan Rasulullah Muhammad SAW. Dengan mengutamakan pembaharuan cara berpikir dan berjuang demi tegaknya kembali keyakinan Islam dan kemuliaan umat Islam dengan jalan kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah.

Pengaruh yang begitu kuat dari aliran ini membuat kalangan yang kurang puas menjadi terpinggir dan lama-kelamaan tergusur dengan sendirinya. Memang bertahan atau tidaknya suatu aliran sangat tergantung dari jumlah pengikut dan simpatisan yang mendukung ajaran tersebut. Esensi dari ajaran yang dikembangkan aliran ini adalah tauhid, karena itu pengikut Muhammad bin Abdul Wahab menamakan gerakan ini dengan ”Golongan Muwahidin”, yaitu golongan yang meng-esakan Allah. Akan tetapi dari kelompok yang tidak senang terhadap mereka gerakan ini disebutnya ”Gerakan Wahabi” dengan menisbahkan kepada nama penggagasnya Muhammad bin Abdul Wahab.

Gerakan yang berpengaruh memang senantiasa dinamis, apalagi bila yang disentuhnya adalah wilayah pemikiran dan peradaban yang terkait dengan permasalahan tugas pokok dan fungsi manusia sebagai hamba Allah dan Khalifah-Nya dimuka bumi. Bermula dari mata rantai pembaharuan pemikiran yang tersambung inilah munculnya gerakan-gerakan pembaharuan Islam diberbagai tempat terutana di Asia dan Afrika seperti; Gerakan Salafiyah di Mesir sekitar abad ke XIX yang dipelopori oleh Sayid Jamaluddin Al-Afghany (1838-1897), Syekh Muhammad Abduh (1849-1905) dan Rasyid Ridha (1856-1935), Gerakan Syari’at Islam di Turki, Gerakan Aligarh di India-Pakistan dan Gerakan Muhammadiyah di Indonesia yang didirikan oleh K.H.Ahmad Dahlan. Khusus untuk Indonesia gerakan faham pembaharuan ala Muhammadiyah ini diikuti oleh berbagai pengembangan pemikiran baik yang wujud dalam bentuk wadah atau organisasi tertentu maupun sebatas pemikiran perorangan tapi mendukung dan sejalan dengan faham Muhammadiyah, sehingga tanpa disadari kebesaran dan kekuatan Muhammadiyah di Indonesia mendapat support dan apresiasi yang luar biasa dari umat Islam terutama kaum intelektual dan umat Islam kalangan menengah ke atas dari berbagai profesi, negeri maupun swasta dan dunia usaha.


D. Muhammadiyah Memurnikan Aqdah Umat.

Dengan didahului oleh beberapa kegiatan keilmuan seperti pengajain petang selasa dan kemasyarakatan yang merupakan bentuk kepedulian K.H.Ahmad Dahlan sebagai seorang muslim yang taat dan shaleh hasil didikan orang tua dan guru-gurunya termasuk Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy di Makah.
















BAB II
MUHAMMADIYAH MASUK MINANGKABAU


A. Benih Pembaharuan di Minangkabau.

Prof.Dr.HAMKA dalam pidatonya waktu memperingati Milad Muhammadiyah ke- 70 tahun di Padang Sumatera Barat, tanggal 08 Dzulhijjah 1400 H/ 17 Oktober 1980 M, menjelaskan bahwa Gerakan pembaharuan di Minangkabau telah dimulai sejak tahun 1803 M, sewaktu kembalinya tiga orang santri yang menuntut ilmu di Mekkah yaitu Haji Miskin Pandai Sikek, Haji Sumaniek, keduanya dari Tanah Datar dan Haji Piobang dari Lima puluh Kota. (Menurut Hamka Nagari Pandai Sikek dudulunya termasuk Wilayah Kabupaten Agam). Faham pembaharuan yang mereka sebarluaskan bersumber dan diilhami dari ajaran Syekh Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787) seorang ulama besar pendiri Gerakan Muwahidin di Najed, bagian timur Saudi Arabia. Prinsip gerakannya adalah kembali pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Faham gerakan inilah yang dikembanhgkan dengan maksud untuk membersihkan tatanan kehidupan masyarakat minang dari adat pusaka Jahiliah seperti; mengadu ayam, meminum tuak dan berbagai bentuk perbuatan syirik, khurafat dan bid’ah.

Pengaruh faham pembaharuan tersebut secara bertahap tumbuh dan berkembang hampir di seluruh pelosok Minangkabau dalam bentuk keyakinan dan pemikiran yang kuat sehingga merasuk ke lubuk hati yang paling dalam. Kondisi itu telah tertanam dan berakar pada hati penerimanya sampai datangnya penjajah Belanda pada tahun 1821. Menurut Drs. A.Shamad Hamid(1984), ciri dari faham pembaharuan ketiga tokoh tersebut lebih menekankan pada segi-segi peribadatan dan kurang memperhatikan masalah pendidikan dan sosial kemasyarakatan.

Menurut Dr. Deliar Noer (1969), faham pembaharuan ini dalam operasionalnya di Minangkabau di samping berhadapan dengan kaum adat juga dengan Golongan Tradisi, yaitu golongan yang lebih memperhatikan persoalan-persoalan agama dalam arti sempit. Untuk mereka, Islam lebih terbatas pada persoalan fiqh, kadang-kadang juga disertai dengan faham mistik dan tarekat. Mereka mengakui taklid dan menolak ijtihad. Dalam persoalan fiqh mereka mengaku menjadi pengikut mazhab-mazhab (umumnya Syafi’i), tetapi penelitian mereka umumnya tidaklah sampai kepada cara serta metode pendiri-pendiri mazhab tersebut. Malahan kebanyakan diantara mereka mempelajari kitab-kitab yang bukan ditulis oleh pendiri mazhab tersebut.

Dalam tarekat, golongan tradisi sering jatuh pada faham dan praktek-praktek yang sekurang-kurangnya lebih mendekatkan mereka pada syirik. Merekapun menghormati keramat-keramat, memberikan sajian-sajian pada arwah, mengadakan kenduri-kenduri yang berhubungan dengan maksud sajian itu, serta menggunakan jimat-jimat, tangkal-tangkal penolak bala dan gangguan syetan-syetan. Dengan praktek-praktek ini sekurang-kurangnya pengertian tauhid dikaburkan karena mentolerir campur aduk kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek beragama dari zaman animisme dan dinamisme serta Hindu-Budha.

Faham serta praktek golongan tradisi itu sering menyampaikan mereka pada sikap penurut tanpa pikir panjang, guru atau syekh ikutan mereka dianggap ma’sum dari kesalahan. Akibatnya apa yang dipahami tentang Islam merupakan milik guru atau syekh. Pendapat atau fatwa guru atau syekh dianggap benar mutlak dan tidak dapat dipersoalkan lagi. Sering pula guru atau syekh kalangan tradidisi berpraktek sebagai dukun, di samping memberi obat, juga memberi tangkal-tangkal. Dialah juga yeng memberi jimat yang dianggap bisa berhubungan dengan orang-orang halus, dengan arwah dan dia juga yang membacakan do’a waktu kenduri.


Meskipun pada waktu itu telah ada falsafah adat yang mengatakan bahwa “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”, namun pertentangan dan perbedaan faham antara kaum agama dan kaum adat termasuk golongan tradisi masih tetap berjalan. bahkan disebagian daerah dengan perlakuan sangat tajam seperti musuh berbuyutan. Pertentangan itu dipicu karena keberpihakan kaum adat terhadap faham golongan tradisi yang disebut dengan aliran kaum Tua, sehingga masih banyak fatwa-fatwa dari kaum muda atau pembaharu yang belum dapat dikompromikan dengan pendapat ulama-ulama tua. Ulama-ulama tua yang dipimpin oleh Tuanku Nan Tuo dan Pakih Sagir pada awalnya telah mulai dapat menerima beberapa pendapat dari kaum muda, namun karena praktek kesehariannya masih bercampur aduk dengan adat Jahiliyah, maka kaum muda sulit untuk menerima kenyataan itu. Apalagi kaum tua ini sangat dipengaruhi olah kaum adat yang pada waktu itu sangat banyak melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam seperti berjudi, minum tuak, menyamun, adu ayam, dan lain-lain. Hal itu tetap menjadi kendala untuk bersatu. Di sisi lain kaum muda yang cukup progresif bahkan reaksioner cepat pula mendapat dukungan dari sebagian ulama yang telah agak cerdas dan banyak membaca, sehingga lahirlah kelompok kuat yang terkenal dengan Harimau Nan Salapan. Menurut Prof. Mohd.Yunus (1979:29), Tuanku yang salapan itu adalah:

1.Tuanku di Kubu Sanang,
2. Tuanku di Ladang Laweh,
3. Tuanku di Padang Lua,
4. Tuanku di Galung,
5. Tuanku di Koto Ambalau,
6. Tuanku di Lubuk Aua,
7.Tuanku di Bangsah (Tuanku Nan Renceh), dan
8. Tuanku Haji Miskin.

Ketika Belanda berhasil menguasai sebagian ranah Minangkabau, gerakan Harimau Nan Salapan ini lebih mengkristal dalam bentuk sikap dan aksi menantang penjajahan, karena menurut mereka penjajahan adalah musuh agama yang harus dilawan dan itu merupakan jihad. Perlawanan yang mulanya hanya bersifat sporadis dan belum terkoordinir dalam satu komando, kemudian berkembang dan meluas menjadi gerakan anti penjajah yang bersumber dari sprit ke-Islaman yang kuat, sehingga mampu menghadapi Belanda walaupun dengan persenjataan bambu runcing. Perlawanan itu kemudian dikenal dengan Perang Paderi di bawah kepemimpinan Tuanku Imam Bonjol (1821-1837).

Lambat laun pengikut kaum Paderi (Padri artinya putih, karena Santrinya umumnya memakai pakaian putih-putih) semakin banyak, di sisi lain tantangan dari kaum adat semakin lemah. Paderi di bawah kepemimpinan Malin Basa yang kemudian dikenal dengan gelar Tuanko Imam Bonjol semakin kuat, karena di samping memimpin pergerakan dia juga mendirikan perguruan sebagai lembaga pendidikan Islam di Bonjol Pasaman yang didatangi oleh banyak murid-murid dari berbagai daerah. Dari waktu ke waktu wilayah pengaruh Tuanku Imam Bonjol semkain luas dan pengikut-pengikutnyapun semakin bertambah.

Setelah kaum adat dapat dikalahkan oleh kaum paderi, maka kepala-kepala adat yang tidak mau tunduk kepada kaum paderi banyak yang menyingkir, diantaranya dua orang bersaudara, bernama Tuanku Saruwaso pergi ke Padang (Perjanjian 10 Februari 1821) untuk meminta bantuan kepada Belanda. Kepada Belanda kepala-kepala adat itu berjanji mau menyerahkan kedaulatan seluruh Minangkabau kepada Belanda. Dengan demikian Belanda mendapat kesempatan yang seluas-luasnya di Sumatera. Maka Belanda mengirimkan pasukannya ke Simawang, dan beberapa minggu kemudian terjadi pertempuran di Sulit Air. Dengan meletusnya pertempuran itu mulailah Perang Padri (1821-1837) (Mahmud Yunus: 1979:31).

Menurut Gusti Asnan, 2003: 258-260. Perjanjian 10 Februari 1921 itu merupakan perjanjian pertama yang dibuat pemerintah Hindia Belanda dengan orang Minang setelah menerima daerah ini dari tangan Inggeris tahun 1819. Perjanjian ini dibuat karena adanya permintaan bantuan dari sekelompok penghulu di Tanah Datar dan sekitarnya kepada pihak Belanda dalam menghadapi kaum Paderi. Perjanjian itu ditanda tangani oleh Du Puy (q.v.) sebagai wakil Belanda dan 20 orang penghulu. Ke 20 orang penghulu tersebut mewakili lebih dari 100 penghulu daerah Tanah Datar dan sekitarnya.

Adapun isi perjanjian 10 Februari 1821 itu anatar lain:
1. Kepala-kepala (para penghulu) dari Kerajaan Minangkabau, secara formal dan mutlak menyerahkan Pagaruyung, Sungai Tarab dan Saruaso, begitu juga daerah-daerah di sekeliling Kerajaan Minangkabau kepada pemerintah Hindia Belanda.
2 Penghulu-penghulu tersebut berjanji dengan sungguh-sungguh atas nama mereka dan rakyat maupun keturunan mereka, untuk patuh dan taat kepada pemerintah Hindia Belanda dan sekali-kali tidak akan menentang perintah apapun dari Belanda.
3. Dalam rangka menguasai daerah-daerah yang telah diserahkan kepada Belanda, untuk melindungi rakyat dari kaum paderi, untuk menghancurkan kaum paderi dan menciptakan perdamaian di Minangkabau, pemerintah Hindia Belanda menyediakan satuan tentara sebanyak 100 orang dan dua pucuk meriam.
4. Para penghulu diharuskan menyediakan kuli-kuli dalam jumlah yang dibutuhkan dan mengurus makanan tentara dengan sebaik-baiknya.
5. Adat dan kebiasaan lama dan hubungan penghulu dengan penduduk akan dipertahankan dan tidak akan dilanggar selama tidak bertentangan dengan pasal-pasal dalam perjanjian.

Tegasnya perjanjian ini telah menyerahkan alam Minangkabau kepada pemerintah Hindia Belanda. Tidak tanggung-tanggung para penghulu yang menandatangani surat perjanjian ini bersumpah setia dengan Al-Qur’an serta disaksikan oleh panglima di Padang (Sutan Raja Mansyur Alamsyah) beserta wakilnya.



B. Paderi Menghadapi Tantangan.

Seperti digambarkan di atas, Paderi tidak lagi dipahami sebatas gerakan, tapi telah berubah makna dengan sebutan ”Perang Paderi”, Belanda sangat khawatir terhadap kekuatan Paderi, karenanya Belanda membuat propaganda bahwa perang paderi adalah perang antara kaum agama (Islam) dengan kaum adat (antara ulama dengan niniek mamak). Kemudian dibentuk opini bahwa Belanda datang adalah atas permintaan kaum adat. Propaganda itu berhasil mempengaruhi masyarakat dengan tujuan mengadu domba antara kaum adat dan kaum agama, sehingga provokasi yang dimainkan Belanda itu sangat berpengaruh terhadap persatuan masyarakat Minangkabau yang tadinya telah kompak untuk mengusir penjajah.

Setelah situasi kehidupan masyarakat dipengaruhi oleh opini yang sengaja dihembuskan Belanda itu, muncullah situasi keamanan yang tidak kondusif dan sulit untuk dikendalikan karena diantara tokoh-tokoh adat pada waktu itu semakin banyak yang membelok dan berpihak kepada Belanda. Kondisi itu merupakan tantangan bagi para petinggi paderi sehingga kekuatan Kaum Paderi semakin terpecah dan akhirnya mengalami kekalahan secara sporadis. Beberapa orang tokoh paderi ditangkap dan Tuanku Imam Bonjol sendiri dibuang ke Manado Sulawesi Utara hingga wafat pada bulan November 1864. Namun bagi para pejuang Islam kekalahan itu tidaklah membuatnya putus asa, karena kekalahan bukan berarti menghilangkan semangat jihad apalagi menyerah untuk berhenti berjuang. Apalagi kekalahan itu disebabkan karena keterbatasan rakyat memahami arti dari sebuah penjajahan di samping konsep Islam belum difamai sebagai suatu reformasi kemanusiaan yang universal, sehingga kepentingan-kepentingan jangka pendek telah dijadikan sebuah tujuan. Dan pada zaman itu memang belum banyak orang minang yang mampu memerdekakan dan membebaskan akal pikirannya dari tipu daya penjajah yang selalu ingin berkuasa. Disebabkan keterbatasan-keterbatasan tersebut ditambah lagi tekanan ekonomi dan selera rendah yang tamak dan rakus, maka yang menonjol adalah mencapai kepuasan yang bersifat sementara. Ibaratnya ”asal tanduk makan biar kepala berluluk – Asal gengsi tetap dapat dipertahankan biar menyerah untuk diadu domba”. Jadi kekalahan paderi itu sesungguhnya berawal dari kelelahan menghadapi saudara sendiri sesama masyarakat minang yang telah berhasil diadu domba Belanda karena kebodohannya.


C. Hikmah Kekalahan.

Kekalahan perang memang harus diterima sebagai suatu kenyataan dinamika sejarah, tapi perlu dijadikan renungan dalam rangka evaluasi dan introspeksi diri. Para ulama meskipun dalam situasi tak menentu mulai menggali hikmah apa yang terkandung dibalik kekalahan tersebut. Salah satu dari hikmah yang dapat diambil adalah bahwa orang Minangkabau harus bergerak terus dan maju untuk merebut kemerdekaan, dan cara untuk mencapai kemerdekaan itu harus memperbanyak orang yang cerdas, berani tapi bermoral. Faktor lain yang tak kalah pentingnya adalah mengembangkan faham Islam yang murni melalui pencerahan dan pencerdasan dengan membangun cara berpikir yang kritis kreatif, karena itu gerakan pembaharuan harus diperkenalkan lebih intensif, sehingga mereka sadar bahwa umat Islam tidak boleh larut dalam pola pikir yang taklid dan fanatik dalam kejumudan beragama. Kehidupan beragama harus diwujudkan sejalan dengan membangun nilai-nilai pemikiran yang Islami dengan menguasai ilmu pengetahuan ke-Islam-an yang lengkap dan mengaplikasikannya untuk kehidupan yang mampu menjawab tantangan zaman dengan jiwa tauhid yang kuat. Untuk itu ulama harus diperbanyak yang menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan baik yang umum maupun yang khusus. Hal itu harus dicari dan digali ke sumbernya, sehingga memperoleh kemurnian yang abadi, karena ajaran Islam merupakan rahmatan lil ‘alamin untuk keselamatan hidup dunia dan akhirat, dan juga anti penjajahan, baik penjajahan pisik, ekonomi, maupun budaya dan mental.

Bagi kaum Paderi kekalahan perang tidaklah membuat mereka trauma yang dapat mematahkan semangat, bahkan tekad untuk mengusir penjajah terus menjadi agenda utama, tinggal waktunya cepat atau lambat. Tekad itu tidak hanya sekedar mimpi, akan tetapi diikuti dengan kegiatan dan usaha, antara lain di samping tetap mendalami Islam di negeri sendiri, mulailah terpikir kembali untuk merubah strategi mencapai kemenangan jangka panjang dengan cara mengirimkan kader-kader muda belajar ke Timur Tengah (khususnya ke Makkah). Tindakan itu diawali antara lain dengan mengirim Ahmad Khatib (asal Balai Gurah Agam) sekitar tahun 1876 belajar ke Makkah, kemudian disusul oleh adik sepupunya Thaher Djalaluddin. Mereka berdua merupakan generasi kedua yang belajar ke Timur Tengah setelah angkatan pertama dirintis oleh H.Miskin, H.Sumaniek dan H.Piobang.

Syekh Ahmad Khatib yang kemudian dikenal dengan tambahan Al-Minangkabawiy diujung namanya setelah belajar beberapa tahun di Makkah, kemudian berhasil menguasai berbagai ilmu seperti ilmu fiqh, ilmu falaq dan bahasa arab di samping menguasai qira’ah dengan baik, sehingga dipercaya dan diangkat menjadi guru dan Imam di Masjidil Haram. Padahal waktu itu tidaklah mudah mendapatkan kepercayaan dari masyarakat arab terhadap orang ‘ajam apalagi untuk dibolehkan menjadi imam shalat di masjid pusat arah kiblat umat Islam sedunia itu.

Di samping mengajarkan berbagai ilmu pengetahauan agama Islam menurut faham mazhab Syafi’i, terhadap murid-muridnya diberikan kebebasan untuk membaca dan mempelajari kitab-kitab dari para pembaharu Islam seperti kitab tafsir ”Al-Manar” nya Muhammad Abduh atau majalah ”al-Urwatul Wutsqa”. Diharapkan oleh Ahmad Khatib bahwa dengan mengetahui ide-ide dari para pembaharu tersebut akhirnya mereka akan menolak dan menentangnya. Namun ternyata sebagian dari mereka justru merasa tertarik terhadap ide-ide tersebut dan akhirnya menjadi pendukung yang tak kepalang tanggung, seperti Syakh Muhammad Jamil Jambel, Abdul Karim Amrullah, Abdullah Ahmad, Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah) dan sebagainya. Sementara sebagian murid-murid lainnya tetap berpegang pada mazhab Syafi’i, antara lain seperti Syaikh Sulaiman ar-Rasuli, Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdatul ”Ulama) dan sebagainya. (Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942:38-39).

Menurut HAMKA diantara murid-murid Ahmad Khatib yang amat terkemuka dari Minangkabau, adalah; Syekh Abdullah Ahmad ( lahir di Padang Panjang tahun 1878 M, wafat bulan Nopember 1933 M), Syekh Muhammad Djamil Djambek (lahir di Bukittinggi, tahun 1860 M, wafat 18 Shafar 1366 H / 30 Desember 1947 M), Syekh Abdulkarim Amarullah (lahir di Sungai Batang Maninjau, 17 Shafar 1296 H/ 10 Februari 1879 H, wafat 2 Juni 1945 M / 21 Jum.Akhir 1364 H di Jakarta) dan Syekh Mohammad Thaib Umar (lahir di Sungayang Batusangkar, 8 Syawal 1291 H/ 1874 H, wafat 6 Zulqaedah 1338 H / 22 Juli 1920 M). Keempat tokoh yang disebutkan terakhir ini merupakan generasi ketiga dari penggerak faham pembaharuan Islam di Minangkabau yang belajar di Timur Tengah.

Tokoh-tokoh muda yang tergolong ulama intelektual dan pembawa faham pembaharuan ini hampir semuanya kembali ke tanah air pada awal abad ke- 20. (Syekh Abdul Kariam Amrullah pulang pada tahun 1906 M, beliau adalah yang pulang paling akhir). Begitu sampai di Minangkabau masing-masing dengan caranya sendiri-sendiri langsung bergerak menyebarkan faham pembaharuan malalui pemikiran-pemikiran yang disampaikannya lewat pengajian-pengajian dan penerbitan majalah serta buku-buku, baik yang ditulisnya sendiri maupun yang didatangkan dari Tumur Tengah. Majalah yang diterbitkan sendiri antara lain yang sangat berpengaruh adalah Majalah Al-Munir (1911) yang dipimpin oleh Syekh Abdullah Ahmad dengan bantuan Syekh Abdul Karim Amarullah dan Syekh Mohd.Thaib Umar sebagai Redaktur. Majalah ini terbit di Padang dan berkembang sangat pesat. Pasarannya tidak hanya di Sumatera tapi sampai ke Malaya dan pulau Jawa. Salah seorang pembaca tetapnya adalah K.H.Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah di Yogyakarta. K.H.Ahmad Dahlan juga murid Syekh Ahmad Khatib dan seangkatan dengan pmpinan Majalah Al-Munir dan Abdul Karim Amarullah.

Majalah Al-Munir merupakan Majalah Islam yang pertama di Minangkabau bahkan di Indonesia. Penerbitan majalah ini diilhami oleh “Majalah Al-Imam” yang diterbitkan oleh Syekh Thaher Djalaluddin di Singapore. Tokoh yang satu ini termasuk lima serangkai penggerak faham pembaharuan asal minang keluaran Timur Tengah angkatan ketiga. Tokoh yang satu ini memang tidak langsung kembali ke Minangkabau tetapi untuk sekian waktu menetap di Johor Malaysia kemudian di Singapore. Kedua Majalah tersebut (Al-Iman dan Al-Munir) dalam penampilan isinya sangat diwarnai oleh missi Majalah Al-Manar yang diterbitkan oleh Syekh Muhammad Abduh dan Syekh Mohd. Rasyid Ridha di Mesir.

Ahmad Shamad Hamid menjelaskan bahwa; Thaher Djalaluddin adalah putera pertama Indonesia yang memperoleh syahadah tertinggi pada Universitas Al-Azhar Mesir. Ia sempat bertemu dengan Rasyid Ridha bahkan pernah menjadi murid Muhammad Abaduh. Faham al Manar ternyata baginya telah menjadi pendangan hidup. Ia menyalurkan ide Abduh melalui majalah Al Imam berbahasa Melayu yang diterbitkannya di Singapura. Majalah ini sampai pula ke tangan ulama Indonesia terutama di Minangkabau dan cukup berpengaruh sehingga mendorong adik-adiknya menerbitkan majalah al Munir yang isinya juga memuat ide-ide yang terdapat dalam majalah al Manar dari Mesir.

Sementara di Jawa majalah Al Munir maupun Al Manar telah menjadi langganan K.H.Ahmad Dahlan yang juga sempat bertukar pikiran dengan Rasyid Ridha ketika bertemu di musim haji di tanah suci Makkah. Termasuk karena pengaruh bacaan kedua majalah itulah organisasi Muhammadiyah yang didirikan K.H.Ahmad Dahlan itu berkembang semakin kuat dan luas jangkauannya.


D. Surau dan Madrasah sebagai Media.

Faham Pembaharuan akhirnya memang cepat tumbuh dan meluas di Minangkabau sebagaimana yang dialami pada periode Haji Miskin, Haji Sumaniek dan Haji Piobang, karena ditopang pengaruh surau sebagai pusat pembinaan generasi muda dan madrasah sebagai pusat pengembangan intelektual yang dipimpin oleh para ulama-ulama muda tersebut. Diantara surau-suaru yang tersyohor di Minangkabau waktu itu adalah sebagai berikut:

1. Surau Tanjung Sungayang didirikan oleh Syekh H.M.Thaib Umar pada tahun 1897.
2. Surau Parabek Bukittinggi, didirikan oleh Syekh H. Ibrahim Musa pada tahun 1908, dan
3. Surau Jambatan Basi Padang Panjang, didirikan oleh Syekh H.Abdul Karim Amrullah pada tahun 1914.

Sedangkan Madrasah-madrasah yang telah mulai melakukan sistem belajar dengan memakai bangku, meja dan papan tulis, yang mula-mula diantaranya adalah:

1. Madrasah Adabiah (Adabiah School) di Padang. Didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad pada tahun 1909. Dalam bentuk madrasah hanya bertahan sampai tahun 1914, karena pada tahun 1915 diganti dengan H.I.S. dan inilah H.I.S. pertama di Minangkabau yang memasukkan mata pelajaran agama dalam rencana pelajarannya.
2. Madrasah Agama (Madras School) didirikan oleh Syekh H.M.Thaib Umar pada tahun 1909 di Batusangkar dan 1910 di Sungayang. Madrasah ini terpaksa ditutup karena kekurangan tempat. Kemudian dibangun kembali oleh muridnya Mahmud Yunus pada tahun 1918 dan pada tahun 1923 ditukar namanya menjadi Diniyah School.
3. Madrasah Diniah (Diniah School di Padang Panjang, didirikan oleh Zainuddin Labai Al-Yunusi pada tahun 1915. Madrasah ini kemudian hari menjadi terkenal sebagai Diniyah Putri (1926) yang dipimpin oleh adik kandungnya Etek Rahmah El-Yunusiyah.
4. Madrasah Thawalib Padang Panjang pada tahun 1918, didirikan oleh Syekh Abdul Karim Amrullah.
5. Thawalib Padang Japang yang didirikan oleh Syekh Abas Abdullah pada tahun 1919.
6. Tabligh School/Kulliyatul Muballighin Muhammadiyah tahun 1930 di Kauman Padang Panjang yang dipimpinan HAMKA.

Menurut Dr.Deliar Noer (1969) Golongan Pembaharu berusaha mencari hakekat dari Islam. Bagi mereka terkandung keyakinan bahwa Islam sesuai dengan kemajuan zaman dan merupakan agama universal yang dasar-dasar ajarannya telah disampaikan oleh rasul-rasul yang dikenal dan tidak dikenal kepada semua bangsa dan terakhir Rasulullah SAW sebagai penyampai ajaran Allah untuk semua umat manusia.

Persoalan kebebasan akal dan pikiran berhubungan dengan ijtihad dan taklid. Menurut mereka Islam menghormati kebebasan akal dan pikiran, tetapi mereka juga mengakui pembatasan-pembatasan agar tidak terjerumus kedalam yang mereka anggap sesat. Agama diperlukan untuk memberi jawaban kepada persoalan-persoalan yang tidak terjawab oleh ilmu pengetahuan, serta sebagai landasan kriteri baik dan buruk. Oleh sebab itu pembaharuan yang mereka perjuangkan bukan sekedar aktivitas dan sikap lahir, melainkan suatu usaha untuk mendapatkan kembali dasar-dasar pokok ajaran yang bersifat abadi dan yang berlaku untuk tiap ruang dan masa.

Dalam pengertian seperti ini pembaharu-pembahru tersebut dapat disebut modernis. Mereka senantiasa modern, tetapi ini berarti bahwa cita pikiran mereka tidak pula bersifat mutlak dan final, melainkan senantiasa tunduk pada penyelidikan lebih lanjut, baik oleh mereka sendiri ataupun oleh orang lain. Tiap langkah kemajuan yang diperoleh dapat diteliti kembali dan dapat diijtihadkan lagi.

Sifat-sifat dan bentuk gerak pembarahuan di Minangkabau antar lain sebagai berikut:

1. Pembaharu atau modernis di Minangkabau hanya mengakui Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber pokok pemikiran mereka. Mereka mengakui bahwa pintu ijtihad masih terbuka; mereka menolak taklid. Ini tidak berarti bahwa mereka begitu saja menyalahi atau mengikuti pendiri-pendiri mazahab atau imam-imam dalam suatu mazhab. Menurut mereka berlaku tidaknya suatu fatwa, pendapat dan praktek pada dasarnya harus diukur atas dasar Al-Qur’an dan hadits.

2. Ijtihad membawa kalangan modernis lebih menghormati pendapat diri pribadi. Guru atau syekh golongan pembaharu dihormati, tatapi tidak sebagai penghormatan yang diberikan kepada guru atau syekh golongan tradisi. Guru kalangan modernis pada prinsipnya dapat berbuat salah. Iapun tidak monopoli tentang pengetahuan Islam karena itu pendapatnya dapat saja dibicarakan orang.

3. Pembicaraan tentang Islam tidaklah terbatas disurau atau masjid saja, tetapi dengan melalui pers atau tabligh diluar masjid dan surau persoalan-persoalan itu sampai kepada masyarakat. Islam pun mendapat tempat di sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda walaupun diluar kurikulum.

4. Kalangan modernis mempunyai kesediaan besar untuk mengadaptasi cara-cara berorganisasi dan cara-cara pendidikan serta pemikiran-pemikiran lain dari barat, termasuk cara-cara misi-misi kristen, sejauh tidak bertentangan dengan dasar-dasar Islam. Seperti yang dilakukan Adabiah, Thawalib dan Diniyah. Malah Adabiah bulat-bulat mengadopsi sistem pendidikan yang didirikan pemerintah Hindia Belanda.

5. Dalam sekolah-sekolah golongan modernis dimasukan pula mata-mata pelajaran yang bidangnya telah dikembangkan oleh ilmu pengetahuan dinegeri barat. Di samping bahasa Arab, juga bahasa-bahasa Belanda dan Inggeris diajarkan. Lambat laun kitab-kitab yang ditulis pun beransur-ansur diterbitkan dalam bahasa Indonesia huruf latin.

6. Organisasi yang dibangun kalangan modernis beransur-ansur berhasil melebarkan pengaruh serta menyebarkan faham pembaharuan. Pengaruh tersebut sampai keluar batas daerah. Tenaga-tenaga yang dihasilkanpun banyak memperkuat gerakan pembaharuan itu diluar daerah malahan sampai ketingkat nasional. Mereka umumnya lebih percaya pada diri sendiri. Usaha-usaha untuk membangun organisasi-organisasi yang berifat daerah dan nasional ( Persatuan Guru-guru Agama Islam 1920, Sumatera Thawalib 1920, Permi 1929) tidak berhasil.

7. Gerakan pembaharuan telah berhasil mencegah ”emansipasi” putera-putera muslim dari agamanya walaupun mereka memasuki sekolah-sekolah yang didirikan Belanda (Pemerintah atau swasta). Atau sekolah-sekolah yang semata-mata ”netral agama”. Catatan ini penting mengingat salah satu saran yang dikemukakan oleh Snouck Hurgronye kepada pemerintah Hindia Belanda agar mengemansipasi pemuda Muslim di Indonesia dari Agamanya melalui pendidikan.

Perluasan bidang gerakan ini memberikan keyakinan dan kesadaran yang lebih lagi tentang Islam yang tidak memisahkan dari soal masyarakat, termasuk soal politik. Bagi kalangan pembaharu, Al-Qur’an dan hadits tidak saja merupakan sumber bagi pemikiran dan praktek ibadah melainkan sumber bagi pemikiran-pemikiran tentang masalah-masalah sosial dan politik. Dalam rangka perluasan bidang perhatian ini, gerakan pembaharu itu melibatkan diri dengan memberikan iyuran yang sangat besar dalam persoalan daerah dan nasional dan perjuangan kemerdekaan.

Demikian proses awal dinamika gerakan pembaharuan di Minangkabau, yang tidak saja disemangati melalui tabligh sebagai dakwah lisan, melainkan sejak awal disemaikan telah didukung dengan program pendidikan dan pencerahan pemikiran yang terarah dan terprogram sebagai wujud dari dakwah bil kitaabah dan dakwah bil hikmah srta dakwah bish-shiaasah.

Mata rantai sejarah faham pembaharuan inilah yang berkembang dan berlanjut terus diperjuangkan hingga sekarang tanpa henti yang direntang panjang oleh para kader yang terbentuk dalam koridor proses pemikiran yang cerdas kritis dan dinamis kreatif. Meskipun tidak semua mereka tergabung dalam sebuah wadah yang sama, namun tetap satu dalam konsep pembaharuan yang kemudian barisan mereka diberi lebel dengan kaum muda. Mereka adalah pelaku-pelaku sejarah pembaharuan dari masa ke masa yang punya komitmen sangat kuat memurnikan ajaran Islam dari virus-birus praktek pengamalan keberagamaan yang tercemar dan campur aduk dengan perbuatan syirik, khurafat, tahayul dan bid’ah.

Muda bukan berarti dilihat dari sudut usia dan golongan tempat mereka beraktifitas, melainkan dilihat dari sudut pandang alur pikir yang sistemik dalam koridor wawasan yang moderat dan reformis. Mereka berhasil menjadikan Minangkabau sebagai pusat kajian dan tempat lahirnya kader-kader Intelektual yang Ulama dan Ulama yang Intelektual. Ketika perjuangan merebut kemerdekaan banyak diantara mereka yang menjadi tokoh pergerakkan menantang penjajah Belanda dan Jepang, mereka muncul sebagai perintis kemerdekaan dan pahlawan perjuangan, meskipun hampir tidak ada yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, karena memang bukan itu niat dan tujuannya. Tapi yang jelas mereka adalah pejuang kebangsaan yang berjiwa nasionalis relegius untuk merebut kemerdekaan dengan mencerdaskan generasi muda, membangkitkan semangat patriotisme melalui lembaga pendidikan dan pergerakkan di berbagai organisasi atau persyarikatan. Kepada mereka ditanamkan semangat jihad membela tanah air, merebut kemerdekaan dengan slogan perjuangan ”Isya kariiman aumut Syahiidan” Hidup mulia atau mati syahid. Kita do’akan mudah-mudahan semua mereka tergolong sebagai Syuhada di sisi Allah SWT dan kita yang ada sekarang mampu melahirkan kader-kader pelanjut dari perjuangan mereka untuk mewujudkan ”Baldatun Thayyibatun Warabbun Ghafuur”.


E. Peran Tokoh Sentral

Pengaruh tulisan-tulisan yang dimuat dalam majalah Al-Urwatul Wutsqa pimpinan Sayid Jamaluddin Al-Afghani di Paris pada tahun 1301 H / 1884 M, kemudian dilanjutkan oleh Majalah Al-Manar di Mesir di bawah pimpinan Syekh Muhammad Abduh dan Sayid Muhammad Rasyid Ridha dari tahun 1898 hingga 1937, telah membangkitkan semangat para ulama muda yang pulang dari Timur Tengah. Pengaruh tersebut diaktualisasikan antara lain dengan diterbitkannya majalah Al-Imam di Singapore dibawah pimpinan Syekh Thaher Djalaluddin, majalah Al-Munir di Padang Saumatera Barat dibawah pimpinan Syekh Abdullah Ahmad dengan redakturnya Syekh Abdul Karim Amarullah (ayahnya HAMKA).

Majalah ini telah berhasil mendapatkan pelanggan tidak saja di Sumatera, tapi juga sampai ke tanah Jawa, Sulawesi, Kalimantann bahkan hingga Malaya. Seperti disebutkan pada bab terdahulu salah seorang langganan setianya adalah K.H.Ahmad Dahlan di Yogyakarta yang kebetulan juga sama-sama murid dari Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy waktu belajar di Makkah (1895-1901). Ketika Syekh Abdul Karim Amarullah tokoh pembaharu terkemuka di Minangkabau itu berkunjung ke Yogyakarta pada tahun 1917 disambut dengan gembira oleh teman seangkatannya K.H. Ahmad Dahlan yang telah mendirikan Muhammadiyah sejak tahun 1912. Selama tiga hari menjadi tamu Muhammadiyah di Kotagede Yogyakarta, beliau mendapat sambutan yang luar biasa dari Ahmad Dahlan dan beliaupun sangat kagum dengan gerakan Muhammadiyah yang reformis dan modernis itu. Satu tahun kemudian setelah kembali ke Minangkabau beliau termotivasi untuk mendirikan Sumatera Thawalib (Februari 1918) sebuah lembaga pendidikan formal di Padang Panjang.

Kemudian dalam jarak waktu yang tidak terlalu lama (1921) seorang muridnya yang cerdas, kemudian juga jadi menantu beliau bernama Ahmad Rasyid Sutan Mansur (lahir 27 Jumadil Akhir 1313 H / 15 Desember 1895) merantau ke Jawa dan menetap di Pekalongan. Allah mentakdirkan di Pekalongan ini pula AR Sutan Mansur berkenalan dengan pendiri Muhammadiyah yaitu K.H.Ahmad Dahlan yang datang secara berkala melakukan pembinaan organisasi dan rohanisasi bagi warga Muhammadiyah yang mulai berkembang di pulau Jawa. AR.Sutan Mansur yang cerdas itu telah lama mendapat pembinaan dan tempaan faham pembaharuan ketika belajar dengan gurunya yang tak asing lagi adalah Syekh Abdul Karim Amarullah (lahir 1879).

Setelah mendengarkan wejangan dari K.H.Ahmad Dahlan yang sangat campin dan piawai dalam menggembleng dan membangkitkan semangat pembaharuan dihadapan warga Muhammadiyah. Dengan retorika dan pendekatannya yang persuasif tapi tajam dan kritis, telah membuat AR.St.Mansur makin lama makin yakin, karena cara pembahasannya yang luas dan penuh dengan argumentasi rasional, sehingga tanpa disadari membuat pendengarnya tertarik dan AR.Sutan Mansurpun menyatakan diri masuk Muhammadiyah. Ketertarikan tersebut disebabkan karena ide yang dikembangkan Muhamamdiyah sama dengan ide gerakan pembaharuan yang dikembangkang di Minangkabau, yaitu agar umat Islam kembali pada ajaran tauhid yang asli dari Rasulullah dengan membersihkan agama dari karat-karat adat dan tradisi yang terbukti telah membauat umat Islam terbelakang dan twertinggal dari umat-umat lain. Di sxamping itu ia menemukan Islam dalam Muhammadiyah tidak hanya sebagai ilmu semata dengan mengathui dan menguasai seluk beluk huku8m Islam secara detail sebagaimana yang terjadi di Minangkabau, tetapi ada upaya nyata untuk mengamalkan dan membuatnya membumi. Ia begitu terkesan ketika anggota-anggota Muhamamdiyah menyebelih qurban seusai menunaikan shalat Idul Adha dan membagi-bagikan dagingnya kepada fakir miskin.

Yang membuat AR.Sutan Mansur semakin yakin adalah, karena terjadi perbedaan yang signifikan dalam pemahaman arti dan makna pembaharuan dalam Islam. Selama bertahun-tahun dia telah belajar dan mempelajari tentang ilmu dan hukum dalam Islam ketika di Minangkabau, tetapi hampir berputar-putar hanya sekitar teori mengenal rumusan dan qaidah yang dihafal untuk diperdebatkan atau untuk sekedar pengantar untuk mendapatkan prediket sebagai seorang alim. Namun belum ada suatu gerakan yang nyata-nyata berupaya untuk mengamalkannya secara konkrit untuk perbaikan kehidupan umat, sehingga Islam tak pernah diketahui dan dirasakan sebagai suatu yang dapat menawarkan solusi untuk memecahkan berbagai permasalahan umat. Karenanya umat Islam selalu saja dirundung dan diselimuti oleh tiga persoalan pokok yaitu; kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. Bahkan terkesan yang terjelma dalam kehidupan masyarahat sehari-hari adalah tumbuh dan berkembangnya sifat-sifat taklid, fanatik dan kultus individu yang menjadikan tuanku sebagai washilah dan dia seakan-akan segala-galanya. Ternyata dalam Muhammadiyah semuanya itu betul-betul disterilkan dan dibongkar, kemudian diganti dengan pengamalan ajaran Islam dalam bentuk peraktek dalam kehidupan sehari-hari. Inilah yang dilakukan Muhammadiyah dengan sangat bersunggugh-sungguh dan terprogram, Muhammadiyah sangat konsen memadukan antara iman, ilmu dan amal yang diterjemahkan dalam segala aspek kehidupan, sehingga Muhammadiyah akhirnya termasyhur sebagai gerakan amal. Sudah menjadi tradisi dalam Muhammadiyah bahwa; ”Tidak akan berdiri Muhammadiyah disatu tempat kecuali disana telah ada amal usahanya seperti Surau/Mushalla, Madrasah atau Panti Asuhan dan Balai Kesehatan. Sekurang-kurangnya kelompok pengajian yang menyantuni anak yatim dan fakir miskin.

Keshalehan dan kecerdasan AR.Sutan Mansur yang telah bersatu padu dengan kecenderungannya mendalami dan mempraktekkan cara-cara mengamalkan ajaran Islam model Muhammadiyah itu akhirnya menjadikan dia orang penting di Pekalongan hingga sekitar tahun 1923 dia dipercaya sebagai Ketua Cabang Muhammadiyah Pekalongan. Ketika Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi memutuskan bahwa setiap keresidenan harus ada wakil Hoofdbestuur Muhammadiyah yang dinamakan Konsul Muhamamdiyah, maka pada tahun 1931 AR.Sutan Mansur dikukuhkan sebagai Konsul Muhamamdiyah (sekarang Ketua Wilayah) daerah Minangkabau yang meliputi Tapanuli, Riau yang dijabatnya hingga tahun 1944. bahkan sejak masuknya Jepang ke Indonesia ia juga diangkat oleh Pengurus Besar Muhamamdiyah menjadi Konsul Besar Muhamamdiyah untuk seluruh Sumatera akibat terputusnya hubungan Sumatera Jawa dan pada waktu itu juga dia membuka dan memimpin Kulliyatul Muballighin Muhamamdiyah di Padang Panjang. Di sekolah ini dididik dan digembleng kader-kader Muhamamdiyah untuk menyebarluaskan Muhamamdiyah di Minangkabau dan sekitarnya. Kelak muballigh-muballigh ini memainkan peran penting bersma-sama pemimpin dari Yogyakarta dalam menggerakkan roda persyarikatan Muhamamdiyah hampir diseluruh pelosok tanah air. Reputasinya itu tercatat semakin meningkat hingga kemudian berhasil menduduki posisi puncak dalam Muhamamdiyah karena diminta kesediaannya menjadi Ketua Umum Pusat Pimpinan Muhammadiyah periode 1953-1956 pada Muktamar Muhammadiyah ke 32 di Purwokerta dan kemudian dipilih lagi pada Muktamar Muhammadiyah ke-33 di Palembang untuk periode 1956-1959 yang berkantor di Yogyakarta. Beliau adalah orang luar Jawa pertama yang dipercaya sebagai orang nomor satu dalam Muhamamdiyah.

Sementara itu Syekh Abdul Karim Amarullah pada tahun 1924 telah merintis berdirinya sebuah perkumpulan Islam di Sungai Batang Tanjung Sani Maninjau yang diberi nama “Sendi Aman – Tiang Selamat”. Perkumpulan yang bersifat lokal ini pada hakekatnya bertujuan sama dengan Muhammadiyah sebagaimana yang dilihatnya di Yogyakarta. Pada waktu kedatangnya ke Pekalongan melihat anak dan menantunya yang telah memimpin Muhammadiyah itu kembali dimanfaatkannya untuk melancong ke Yoyakarta kali kedua guna lebih mendalami hakekat gerakan Muhammadiyah yang semakin merakyat dan berakar di tanah Jawa itu. Saking begitu terpikatnya hati sang mertua terhadap Muhammadiyah, setelah kembali ke Pekalomgan dari Yogyakarta perasaannyapun tak sabar lagi, tanpa pikir panjang mengajak menantu beliau AR.Sutan Mansur bersama anaknya Fatimah langsung pulang ke Minangkabau, karena semangatnya sedang menggebu-gebu untuk segera mendirikan Muhammadiyah di Minangkabau. Dengan suasana yang kurang enak karena sangat tergesa-gesa, ajakan guru dan mertua itu diikuti oleh AR.Sutan Mansur. Ikut bersama rombongan AR.Sutan Mansur yang eksodus pulang kampung itu adik beliau Ja’far Amarullah, Marah Intan Dt.Nan Bareno, Dt.Majolelo dan Sutan Marajo. Orang Maninjau memang terkenal merantau secara berkelompok, tidak saja di Jawa, juga di Sumatera seperti di Medan dan Aceh.



F. Awal Berdirinya Muhammadiyah.

Setelah sampai di Minangkabau, walaupun menetap di Padang Panjang mengayomi Sumatera Thawalib, namun Syekh Abdul Karim Amarullah sebagai tokoh sentral tetap saja memberi semangat agar Muhammadiyah segera didirikan, maka atas anjuran beliau diadakanlah musyawarah di Sungai Batang Maninjau tanggal 29 Mei 1925. Musyawarah itu dipimpin oleh AR.Sutan Mansur dan dihadiri juga oleh pemuka-pemuka masyarakat termasuk rombongan yang baru pulang dari rantau. Musyawarah yang dihadiri lengkap unsur ”tungku tigo sajarangan - tali tigo sapilin” tersebut, setelah ”mambaliek-baliek bak mamanggang, di inok-inok dipikiri, ditalungkuik, ditalantangkan” akhirnya karena sudah ”Bulek aia dek pambuluah – bolek kato dek mufakat – bolek lah bulieh di guluikkan – pipieh lah bulieh di layangkan” maka musyawarah menelorkan kesepakatan bahwa Perkumpulan yang bernama “Sendi Aman Tiang Selamat” yang dipimpin Haji Yusuf Amarullah (juga adik kandung Syekh Abdul Karim Amarullah) itu dilebur dan diganti namanya menjadi Muhammadiyah. Dengan demikian secara resmi untuk pertama kalinya Muhammadiyah berdiri di ranah Minangkabau tepatnya di Sungai Batang Maninjau pada tanggal 29 Mei 1925, dengan susunan Pengurusnya terdiri atas: Pemuka I dan II, Dt.Penghulu Basa dan Dt.Sidi Bandaro. Juru Surat I dan II: Zainuddin Kari Pamuncak dan Ismail Sutan Jamaris. Juru Uang dipegang oleh Sutan Palembang. Pengurus ini dibantu oleh 12 orang Komisaris. Dengan anggota pertama berasal dari anggota perkumpulan Sendi Aman Tiang Selamat sebanayak 366 orang, tapi pada tahun itu juga telah menjadi 878 orang (laki-laki dan perempuan) yang tergabung dalam organisasi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah.

Muhammadiyah Sungai Batang ini dalam waktu singkat, diperkuat dengan bedirinya Groep-groep Muhammadiyah sekitar danau Maninjau, seperti :
1. Groep Muhammadiyah Pandan, berdiri tahun 1926,
2. Groep Muhammadiyah Sigiran,berdiri 2 Juli 1927,
3. Groep Muhammadiyah Gelapung, berdiri 15 juli 1927,
4. Groep Muhammadiyah Arikir, berdiri 8 Agustus 1927,
5. Groep Muhammadiyah Batu Nanggai, berdiri 4 September 1927,
6. Groep Muhammadiyah Tanjung Sani, berdiri 1 Januari 1928.
Sudah menjadi watak orang Minang, apalagi telah menjadi seorang tokoh yang berpengaruh termasuk ulamanya dan cendekiawan seperti Syekh Abdul Karim Amarullah, meskipun sangat simpati terhadap pergerakan Muhammadiyah, namun beliau sendiri tidak mau begitu saja mencontoh semua faham dan ajaran dari Muhammadiyah. Bahkan setelah mendorong untuk mendirikan Muhammadiyah baik di Sungai Batang Maninjau maupun di Padang Panjang tapi beliau sendiri hingga wafatnya tidak terdaftar sebagai anggota Muhammadiyah. Ini termasuk salah satu bentuk karakter orang Minang, tidak saja terhadap Muhammadiyah tapi juga pada organisasi-organisasi lainnya. Tapi mudah-mudahan sifat ini positif, karena mungkin ada juga baiknya.

Sebagai sebuah Organisasi yang berazas Islam dan bertekad mengamalkan ajaran Islam yang murni bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, meskipun beridri untuk pertama kalinya di dinagari pinggir danau, alhamdulillah mendapat dukungan dari tenaga-tanga kuat yang punya motivasi tinggi, kompak dan siap berkorban. Pada tahun pertama itu telah berhasil mendirikan sebuah Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah dengan menggunakan lima buah rumah kepunyaan warga dan satu diantaranya milik Syekh Abdul Karim Amarullah sendiri. Madrasah ini menampung murid 235 orang murid dengan tenaga pengajar empat orang, dipimpin oleh Muhammad Yatim Sutan Basa tamatan Thawalib klas 7 Padang Panjang.


G. Muhammadiyah Ibarat Kembang.

Setelah Muhammadiyah berdiri di Sungai Batang dengan beberapa groupnya sebagai tonggak tuo, kemudian diikuti dengan berdirinya Muhammadiyah Cabang Padang Panjang yang dipelopori oleh Saalah Yusuf Sutan Mangkuto dari Pitalah dan Dt.Sati dalam sebuah musyawarah yang diadakan juga di rumah Syekh Abdul Karim Amarullah di Gatangan Padang Panjang tanggal 2 Juni 1926. (Pada waktu itu beliau sedang berada di Mesir menerima anugerah gelar Doktor Hon dari Universitas Al-Azhar).walaupun tidak berada di tempat, namun rumahnya bebas dipakai untuk kepentingan Islam. Muhamamdiyah Cabang Padang Panjang adalah Cabang yang pertama di Minangkabau yang mendapat pengesahan dari Hoofdbestur Muhammadiyah Yogyakarta dengan Besluit No.36 tertanggal 20 Juli 1927.

Setelah pengesahan tersebut, Muhammadiyah Padang Panjang mulai menata diri melaksanakan aktivitasnya dengan membangun sebuah kantor yang representatif terletak di Jalan Guguk Malintang sebuah rumah bekas Hotel Merapi kepunyaan seorang Belanda. Di sinilah Kantor Pertama sebagai markas pusat pergerakkan Muhamamdiyah di Minangkabau. Kegiatan berikutnya adalah mendirikan sebuah Sekolah HIS pada pertengahan tahun 1927 yang dipimpin seorang guru ahli utusan dari Pengurus Besar Muhammadiyah Yogyakarta namanya Prawoto Adiwidjoyo. Pada tahun 1930 Muhammadiyah membeli sebidang tanah kepunyaan Belanda seharga F.300,- Tanah ini terletak di belakang penjara yang kini dikenal dengan nama Kompleks Kauman Padang Panjang. (Kompleks ini adalah Kauman kedua setelah Kauman di Yogyakarta).

Pertumbuhan organisasi yang semakin berkembang dengan bukti amal usahanya yang sangat nyata terutama dalam bidang pendidikan sungguh membawa dampak yang sangat positif terhadap munculnya tekat dan semangat masyarakat Minangkabau untuk mendirikan Muhammadiyah di tempat lainnya, ibaratnya seperti kembang yang harum semerbak membuat orang lewat tertegun kagum dengan keharumannya. Berdasarkan kenyataan itu maka berdirlah Muhammadiyah di berbagai tempat. Menurut catatan Buya R.I.Dt.Sinaro Panjang, antara lain:

1. Simabur Tanah Datar, tanggal 27 Juli 1927. Dipelopori oleh: Dt.Bungsu, Mulkan St.Maradjo, H. Mukhtar, Dt.Simaradjo dan lain-lain.
2. Bukittingggi, tanggal 20 Juli 1928. Dipelopori oleh: M.Kamin, HM.Sidiq, H.Abu Samah, Dt.Mangulak Basa, Dt.Rajo Dilangik, TM.Mantari, dll.
3. Kuraitaji, tanggal 25 Oktober 1931. Dipelopori oleh: Oedin, Sd.M.Ilyas, HM.Noer, H.Haroun ‘L Ma’any, M.Luth Hasan dll.
4. Lintau Buo Tanah Datar, tanggal 17 Mei 1932. Dipelopori oleh: M.Said, Dt.Bandaro Ratieh, M.Yazid, dll.
5. Kubang Suliki, tanggal 5 Desember 1932. Dipelopori oleh: HM.Khalil, Darwis
Muin, H.Dansoer, H.Darwas dll.
5. Simpang Haru Andalas Padang, tanggal 5 Desember 1932. Dipelopiri oleh A.Syukur, Pakieh Husen, Saidina Hamzah, Thaher Idris, Kasuma, dll.
6. Payakumbuh, 5 Desember 1932. Dipelopori oleh: Syekh Mohd.Arsyad, St.Mancayo, dll.
7. Rao Pasaman, tanggal 14 Desember 1932.
8. Sulit Air Solok,tanggal 14 Desember 1932. Dipelopori oleh: Dt.Bungsu, Kahar Thaher, Manda Ali, Imam Arifin, dll.
9. Koto Tangah Padang Luar Kota, tanggal 17 Nopember 1935. Dipelopori oleh: A.Gani Dt.Radjo Alam, dll.
10. Matur Agam, tanggal 22 September 1936. Dipelopori oleh: H.Idris, Imam Maradjo, dll.
11. Kubung Solok, tanggal 4 Februari 1937. Diopelopori oleh: Imam Arifin, Kahar Thaher, M.Idris, dll.
12. Talu Pasaman, tanggal 4 Februari 1937. Dipelopori oleh: Maulana Kali, M.Alip, dll.
13. Limo Kaum Batusangkar,

Semuanya merupakan Cabang-cabang Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah peringkat awal sebagai perintis, karena berdiri antara tahun 1926 hingga tahun 1937. Perkembangan itu juga diikuti secara simultan oleh Bagian ‘Aisyiyah, HW, Nasyiatul ‘Aisyiyah, dan Pemuda Muhammadiyah.


H. Congres ke-19.

Hal itu terbukti, ketika usia Muhammadiyah di Minangkabau masih balita,(4 tahun) dukungan warga dan simpatisannya mengkristal membuat suatu kejutan di mana dengan semangat yang luar biasa, Muhammadiyah Minangkabau melamar menjadi tuan rumah Congres ke-19, bayangkan Congres ini akan diikuti oleh utusan Muhammadiyah se Indonesia. Lamaran itu didukung oleh H.Fachroeddin dan H.M.Yunus Anies yang telah berkeliling di Minangkabau sebelum berlangsungnya Congres Muhammadiyah ke-18 di Solo. Menurut Hamka pada Congres ke-18 ini telah turut hadir utusan-utusan dari Minangkabau antara lain Cabang Sungai Batang Tanjung Sani, Padang Panjang, Simabur, Kuraitaji dan Lakitan. Atas argumentasi dari utusan-utusan inilah akhirnya Congres ke-19 ditetapkan di Bukittinggi tanggal 14-21 Maret 1930.

Congres pertama di luar Jawa itu ternyata sangat sukses, karena mendapat dukungan yang simpatik dari semua lapisan dan tokoh masyarakat Minangkabau baik ulama maupun ninik mamak dan pemuda, bahkan ada yang mengatakan perhelatan akbar itu adalah Congres masyarakat Minangkabau, karena sulit membedakan orang yang datang meramaikan antara anggota Muhammadiyah dengan yang bukan pendukung Muhammadiyah. Salah satu keputusan penting dalam Congres tersebut adalah untuk pertama kalinya Muhammadiyah mengangkat Consul di daerah-daerah dengan sebutan “Consul Hoofbestur Muhammadiyah” tercatat nama-nama penting sebagai consul pertama di Sumatera antara lain Buya AR Sutan Mansur untuk Minangkabau dan Hasan Din untuk Bengkulen, yang kemudian menjadi mertuanya Bung Karno.

Satu hal lagi yang menarik dari Congres ini adalah, munculnya fenomena baru dalam Muhammadiyah, yaitu “Perempuan Berpidato dihadapan Majelis Laki-laki”. Agenda ini telah menimbulkan masalah karena penasehat Muhammadiyah Minangkabau DR.Abdulkarim Amrullah telah berfatwa; Haram hukumnya perempuan berpidato dihadapan majelis laki-laki. Fatwa itupun telah tersebar luas dalam buku karangan beliau “Cermin Terus; Berguna untuk Pengurus, Pencari jalan yang lurus”. Sedangkan yang akan berpidato pada Rapat Umum Congres itu adalah Siti Rasyidah dari ‘Aisyiyah Padang Panjang yang usianya baru 19 tahun dan belum nikah. Lama sekali perdebatan antara Dr.Abdulkarim Amarullah dengan K.H.Mas Mansur dari Pengurus Besar Muhammadiyah, hampir saja tak ada keputusan, tapi karena yang berdebat adalah ‘ulama sama ‘ulama yang nuansanya syuura dan ukhuwah berselimutkan akhlaqul kariimah, akhirnya disepakati bahwa hukum yang haram itu menjadi makruh. Meskipun demikian ‘ulama-‘ulama yang telah mendukung gerak Muhammadiyah Minangkabau sangat hati-hati menjalankan hukum ini. Sebelum majalis perdebatan ini bubar Syekh Mohammad Djamil Djambek tampil bicara yang pada mulanya merendah sebagai orang tua, tapi kemudian mengingatkan bahwa Muhamamdiyah akan sulit bergerak dan wibawa ‘ulama akan menurun di Minangkabau jika dalam Congres ini perempuan dibolehkan berpidato dihadapan umum. Akhirnya demi kemaslahatan umat dan kelangsungan hidup Muhammadiyah ditetapkan dengan musyawarah mupakat meniadakan pidato perempuan di depan Rapat Umum Congres ke-19 tersebut.

Semangat kesuksesan menyelenggarakan Congres ke-19 tersebut membuat semakin bersinarnya Matahari Muhammadiyah yang dilingkari dua kalimah syahadat di Minangkabau. Muhammadiyah tumbuh dimana-mana tidak lagi terbatas selingkar Minangkabau, tapi kader dan muballigh keluaran Kulliyatul Muballighin Muhammadiyah Padang Panjang diundang untuk bertabligh sekaliagus mendirikan Muhammadiyah sampai ke Tapanuli Selatan, Jambi dan Riau bahkan Sumatera Utara dan Aceh. Di sinilah peran penting masa lalu dari Kulliyatul Muballighin Padang Panjang yang tidak sedikit memberikan kontribusi terhadap pengembangan organisasi Muhammadiyah di Indonesia. Setelah kemerdekaan banyak bermunculan alumni Kulliyatul Muballighin ini di mana-mana baik sebagai Pegawai Negeri maupun sebagai Muballigh dan Guru Agama seperti di Sulawesi, Kalimantan bahkan sampai Irian Jaya.

Kesuksesan Kongres ke-19 itu juga sempat melahirkan semboyan ”Muhammadiyah dilahirkan di Yogykarta, dibesarkan di Minangkabau” . bahkan setelah itu pernah ada keputusan Musyawarahnya membuat sebuah program ”Me Muhammadiyahkan Nagari dan Me Nagarikan Muhammadiyah”. Agaknya apabila direntang panjang, reputasi itu juga kemudian yang melahirkan sejarah menghadirkan dua tokoh Muhammadiyah Minangkabau dipercaya menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, yakni Buya AR.Sutan Mansur dan Prof.Dr.Ahmad Syafi’i Ma’arif, di samping dua orang tokoh yang sangat berpengaruh dalam mengisi roh Muhamamdiyah yaitu Buya HAMKA dan Buya H.A.Malik Ahmad.
































BAB III
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGANNYA




A. Pembinaan kader.


Muhammadiyah Minangkabau sebagai Gerakan Islam, Da’wah Amar Ma’ruf Nahi Munkar, sejak awal telah melaksanakan missinya dalam proses pembaharuan (tajdid) dengan mengembangkan semangat berijtihad untuk kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, terutama difokuskan dalam pemberdayaan sumber daya insani sebagai kader yang meliputi berbagai aspek dan sektor seperti yang kita kenal melalui Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan, Muballigh dan guru-guru Muhammadiyah. Upaya tersebut dibarengi pula dengan mendirikan Pusat Gerakan sebagai Markas di kompleks Perguruan Kauman Padang Panjang. Gerakan ini diawali dengan pembinaan kader khusus melalui Tabligh School (1930-1936) yang kemudian berubah nama menjadi “Kulliyatul Muballighin” untuk peringkat Tsanawiyah dan ‘Aliyah. Sedangkan untuk peringkat perguruan tinggi berlanjut dengan mendirikan “Fakultas Falsafah dan Hukum”. Fakultas yang diresmikan tanggal 18 November 1955 ini merupakan Fakultas Muhammadiyah pertama di Indonesia. Ketika itu prasasti perasmiannya ditanda tangani oleh Ketua Pusat Pimpinan Muhammadiyah Buya AR.St.Mansur. Berdasarkan cacatan ini berarti usaha Muhammadiyah dalam menggeluti Perguruan Tinggi atau Universitas di Indonesia pada tanggal 18 November 2009 ini telah berusia 54 tahun atau lebih setengah abad. Hal ini tentu sangat patut disyukuri, karena dengan rintisan itu ternyata kemudian berkembang hingga sekarang Perguruan Tinggi Muhammadiyah di seluruh Indonesia telah berjumlah lebih dari 190 buah. Mereka yang dididik dan dibina di sekolah atau madrasah dan bahkan perguruan tinggi itu pada hakekatnya adalah anak panah atau kader yang disiapkan untuk melaksanakan da’wah Islam, Amar Ma’ruf Nahi Munkar dalam rangka pengembangan Islam menurut faham Muhammadiyah di seluruh tanah air.

Upaya da’wah pembaharuan dalam rangka menggerakkan missi amar ma’ruf nahi mungkar untuk mencerdaskan umat agar terbebas dari kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan di Minangkabau dilakukan secara bersama-sama dengan organisasi Islam lainnya. Meskipun masing-masing dalam nama dan wadah yang berbeda bahkan disana sini terjadi juga gesekan-gesekan terutama dalam orientasi fikih namun tetap satu dalam tujuan yakni merebut kemerdekaan. Pada zaman penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang misalnya Muhammadiyah aktif menggerakkan potensi group-group (Ranting) tidak saja untuk mendorong anggota-anggotanya sebagai pensuplay makanan dan sebagai lasykar sukarelawan, tapi juga para pemimpinnya tampil sebagai tokoh-tokoh politik yang bergabung dalam Organisasi Pergerakan Persiapan Kemerdekaan. Beberapa nama dapat disebutkan antara lain Buya AR.Sutan Mansur yanga pada waktu itu diminta sebagai penasehat Bung Karno, Duski Samad, S.Y. Sutan Mangkuto, Marzuki Yatim, RI.Dt.Sinaro Panjang, HAMKA, Oedin, H.A.Malik Ahmad, Haroun El-Ma’any, ZAS, Zul, H.Darwas Idris, Dt Simaradjo, dan masih banyak lagi nama-nama lainnya.

Gerak amal Muhammadiyah sulit dihalangi oleh Belanda dan Jepang, karena Muhammadiyah bekerja sangat aktif membantu masyarakat dalam bidang sosial dan pendidikan. Dalam pendidikan Muhammadiyah di samping punya kurikulum sendiri juga menerapkan kurikulum pemerintah dan mematuhi semua peraturan yang berlaku selagi tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Strategi ini dipakai karena dapat melicinkan jalannya da’wah dan membuka peluang banyaknya sekolah Muhammadiyah yang mendapat subsidi dari pemerintah dan ijazahnya disamakan dengan ijazah negeri. Muhammadiyah mempertimbangkan jika subsidi tidak diterima maka subsidi itu akan diambil oleh sekolah-sekolah dari agama lain sementara kita tahu uang itu berasal dari rakyat kita sendiri yang mayoritas beragama Islam.

Ketika akan berakhir peperangan dan dalam persiapan mencapai kemerdekaan, pemerintah mendirikan PETA (Pembela Tanah Air). Banyak anggota Muhammadiyah yang direkrut jadi perwira dan bintara yang kemudian menjadi modal dasar berdirinya TNI. Sebagaimana catatan sejarah yang otentik, untuk tingkat nasional salah seorang tokoh Pemuda dan guru Muhammadiyah yang aktif sebagai perwira PETA akhirnya menjadi Bapak TNI yaitu Panglima Besar Jenderal Sudirman. Begitu juga di Minangkabau banyak sekali anak Muhammadiyah yang menjadi TNI yang tadinya bermula dari perwira dan bintara PETA dari Muhammadiyah seperti Ahmad Husen, Dahlan Jambek, Syuib Ibrahim, dan lain-lain. Memang sudah fitrahnya Muhammadiyah terus menerus menjalankan da’wahnya melalui berbagai bentuk kiat dan strategi amal usaha yang tak pernah henti dengan semangat yang tak kenal menyerah. Bagi Muhammadiyah berda’wah bukan hanya bertabligh, tapi seleuruh gerak amal usahanya harus berfungsi da’wah, sehingga disebut sebagai da’wah minded atau da’wah centris. Dia bangkit dan tenggelam bersama gelombong kehidupan umat, diapun tumbuh dan berbuah juga bersama dinamika semangat relegius, rasionalitas dan realitas kondisi umat dan bangsa.

Kini sesuai dengan perkembangannya dan merujuk firman Allah SWT Q..S An-Nisa (4):9 dan Q.S. Ash-Shaf (61:4), wilayah pengkaderan juga semakin luas baik kader formal maupun non formal dan informal. Untuk melahirkan kader-kader Formal yang berfungsi sebagai anggota inti yang menjadi bagian terpilih dalam lingkup dan lingkungan pimpinan, mereka dikader melalui jenis dan bentuk, pertama; Perkaderan Utama yang meliputi: Darul Arqam, Baitul Arqam, kedua; Perkaderan Fungsional yang meliputi: Sekolah Kader, Pelatihan Instruktur, Pelatihan yang diselenggarakan oleh Majelis, Lembaga dan Organisasi Otonom seperti ’Aisyiyah dan AMM. Pengajian Pimpinan, Pengajian Khusus, Pelatihan Tata Kelola Organisasi dan Diklat Khusus. Untuk melahirkan kader-kader Non Formal yang berfungsi sebagai pelaksana dan karyawan dari amal usaha, mereka dikader melalui peningkatan keahlian sehingga dapat memberikan pelayanan yang prima dan peningkatan kinerja yang berkualitas. Sedangkan untuk kader-kaderInformal, mereka secara langsung dibina dan digembeleng oleh masing-masing keluarga yang kedua atau satu orang tuanya berasal dari warga persyarikatan.
Sebagimana kita ketahui ruang lingkup kader dalam Muhammadiyah dipersiapkan untuk Kader Persyarikatan, Kader Umat dan Kader Bangsa. Kader adalah ibarat bingkai dari sebuah foto/gambar. Betapapun indah dan bagusnya sebuah foto/gambar, namun bila bingkainya kurang kuat/baik, maka foto/gambar itu tidak akan bertahan lama, cepat pudar dan rusak bahkan hancur. Prof. Dr.H.A.Mukti Ali pernah menyatakan, ”Baik buruknya organisasi Muhammadiyah pada masa yang akan datang dapat dilihat dari baik buruknya pendidikan kader yang sekarang ini dilakukan. Jika pendidikan kader Muhammadiyah sekarang ini baik, maka Muhammadiyah pada masa yang akan datang juga jelek” (Tanfidz Keputusan Rakerpim BPK PP Muhammadiyah 1993:48).

Karenanya dalam setiap proses perkaderan harus diusahakan terciptanya kondisi sebagai berikut:

1. Terinternalisasinya nilai-nilai ajaran Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan As- Sunnah dalam Sistem perkaderan Muhammadiyah.
2. Terevitalisainya sistem perkaderan yang terpadu dan teratur serta dilandasi oleh keikhlasan dan komitmen.
3. Termanifestasikannya ideologi, visi dan misi Persyarikatan dalam sitem perkaderan.
4. Terintegrasinya perkaderan dalam lembaga pendidikan milik Persyaraikatan (mulai Taman Kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi Muhammadiyah.



B. Organisasi.

Kini Muhammadiyah Minangkabau (Sumatera Barat) dengan perangkat organisasi yang terstruktur, terus melanjutkan amal usahanya dalam berbagai bidang seperti pendidikan mulai dari Taman Kanak-kanak hingga Perguruan Tinggi, bidang sosial seperti Panti Asuhan, bidang keagamaan seperti Bimbingan Haji dan tabligh, membangun masjid dan mushalla, bidang kesehatan membangun Rumah Sakit dan Poliklinik, bidang ekonomi membangun BPRS, BTM/BMT serta Koperasi. Tidak kalah pentingnya dalam bidang kaderisasi seperti Nasyiatul Aisyiyah, Pemuda dan Tapak Suci Putra Muhammadiyah. IRM dan IMM. Semuanya itu telah mendapat tempat dihati sebagian besar umat Islam Sumatera Barat. Hal itu terbukti dengan perhatian dan kepercayaan masyarakat yang ditunjukkan kepada Muhammadiyah, baik melalui sokongan dana maupun dengan sambutan yang menggembirakan.

Perhatian dan kepercayaan serta sambutan tersebut telah tumbuh dan berkembang tanpa melihat siapa yang memimpin persyarikatan ini, karena dalam Muhammadiyah tidak dikenal figure Central melainkan kepemimpinan yang kolektif dan kolegial. Yang jelas sikap itu didasarkan atas keterikatan moral Islami atau ukhuwah Islamiyah yang berlandaskan tajdid dan ijtihad, yang menjadi daya tarik adalah sepak terjang Muhammadiyah yang sangat piawai dalam merebut kepercayaan umat dalam menggerakkan partisipasi tenaga, dana dan pemikiran mastarakat, sehingga Muhammadiyah tidak saja semakin banyak dan meningkat amal usahanya, tapi juga semakin luas wilayah jangkauannya dan semakin bersemi dihati publik.

Kini Muhamamdiyah Sumatera Barat mempunyai 15 Daerah Kabuapetn/Kota (kecuali Daerah Kab.Kepulauan Mentawai, Solok Selatan, Kota Solok dan Kota Payakumbuh sedang dipersiapkan), 118 Cabang dan 673 Ranting dengan jumlah anggota kurang lebih dua setengah juta orang. Muhammadiyah Sumatera Barat sejak berdirinya hampir 80 tahun telah dipimpin secara silih berganti dalam kepemimpinan kolektif dengan 15 orang Ketua, masing-masing: Engku Dt.Penghulu Besar, Saalah Yusuf St.Mangkuto, AR.St.Mansur, HAMKA, HA.Malik Ahmad, Mohammad Yatim, H.Haroun El-Ma’any, Drs.Djam’an Shaleh, HAK.Dt.Gunung Hidjau, H.Zainoel ‘Abidin Syu’aib, H.Hasan Ahmad, HM Idris Manaf, H.Amir Ali, H.Radhin Rahman, Prof.Drs.Nur Anas Djamil dan Drs.Shofwan Karim Elha MA. sekarang Drs.H.RB.Khatib Pahlawan Kayo.

Sesuai dengan dinamika berpikir masyarakat yang sangat dinamis karena dipengaruhi oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, ke depan manusia semakin cerdas dan kritis, tentu akan datang masanya setelah mencermati secara komperatif dan komprehensif, realita menunjukkan bahwa Muhammadiyah tidak lagi satu-satunya organisasi tempat berjuang dan beramal. Oleh sebab itu kehadiran kepimpinan yang berwibawa dan harmoni, organisasi yang solid dan administrasi yang rapi perlu mendapat prioritas untuk ditingkatkan kualitasnya dengan menghadirkan tenaga-tenaga yang berilmu, berdedikasi dan memiliki komitmen moral keislaman serta profesionalitas kinerja yang tinggi.

Langkah-langkah ke arah itu perlu diupayakan dengan melakukan berbagai pembenahan dan penataan terhadap struktur organisasi, perangkat perundang-undangan, penyatuan visi dan missi serta peningkatan kualitas pimpinan dan anggota. Semuanya itu insya Allah dapat diwujudkan melalui kebersamaan dalam musyawarah akbar Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang Jawa Timur, 3 – 8 Juli 2005 ini, insya Allah.

Kita wajib mensyukuri nikmat usia panjang yang telah diberikan Allah kepada persyarikatan kita, sehingga memungkinkan kita dapat menjadikannya sebagai wadah tempat beramal dan beribadah yang indah dan sejuk, namun upaya introspeksi dan evaluasi tentang bagaimana Muhammadiyah kini dan doeloe di Minangkabau juga merupakan sesuatu yang tidak boleh dilupakan, agar kita betul-betul tahu dimana keunggulan orang-orang tua kita dahoeloe dan di mana pula titik lemahnya generasi kita sekarang. Semoga !


Padang, 06 Rab.Akhir 1426 H
15 Mei 2005 M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar